Aku menelpon seseorang terlebih dulu sebelum melajukan motor menuju Semarang.
“Bro, ketemu di mana? Tempat kerjamu?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Iya. Kukira kamu ndak jadi berangkat. Tadi keujananan ra?”
“Heem, masih gerimis ini. Oke aku ke sana yak, tapi ndak bisa lama-lama loh.”
“Oke, mampir ngopi lah, barang sebentar. Masa lewat aja gitu!”
“Ya wis, setengah jam bolehlah.”
Aku menutup telpon lantas melirik jam tangan. Masih ada waktu sebelum jam dua. Semoga saja enggak terlambat.
Memacu kecepatan tujuh puluh kilometer perjam, yang kutuju lebih dulu adalah kawasan Masjid Agung Jawa Tengah. Hendak bertemu teman yang kutelpon tadi. Seminggu yang lalu aku dari Semarang juga, waktu itu aku bilang akan membawakan prototip buku untuknya. Buku lawas sih, jaman dulu masih suka nulis puisi. Juga salah satu DVD seri Die Hard yang dulu pernah kujanjikan padanya. Itung-itung hadiah ulang tahun yang sudah lewat. Buat teman apa sih yang enggak, lagipula aku sudah bosan. Plot film-nya hapal di luar kepala.
Sampainya di depan tempat kerja temanku, sebuah hotel berbintang. Ndak perlu kusebutkan namanya lah ya, pokoknya sekitar MAJT. Cukup banyak hotel di daerah situ. Gerimis makin deras. Niatnya mau langsung jablas, eh akhirnya mampir juga. Pas aku datang, dia sudah menunggu di pos satpam. Katanya sudah izin keluar, lantas aku diajak ke salah satu kedai kopi.
“Mau ke mana sih, buru-buru?” tanyanya ketika aku memilih pesan Americano.
Teman yang sudah kenal denganku pasti tahu, kalau aku enggak suka kopi dingin. Maksudnya kalau ada kopi hitam, pasti enggak pilih jenis kopi lain. Lah, kalau aku pesan kopi hitam, kapan minumnya? Sudah pasti diseduh air panas.
“Ada acara bedah buku di Semarang kota. Lumayanlah buat cuci otak, Bro.”
“Acara jam berapa?”
“Jam dua.”
Sekarang sudah jam satu lebih seperempat jam. Hmm bisa tepat waktu enggak nih? Kulihat ada beberapa pesan masuk yang menanyakan aku sudah sampai mana. Udah sampai Semarang, tapi masih terdampar di kedai kopi.
“Mau kutemani?”
“Nggak usah. Nanti kamu ditegur lagi. Aku bisa sendiri, kok.”
“Jadi ketemu sama konselor yang kemarin?”
“Jadilah, Bro. Baik banget dia, aku minta recorded kan. Ternyata sudah ditranskrip. Berkuranglah kerjaku, hehe ….”
“Aku wae puyeng, baca sinopsis kemarin. Ndak bisa komen apa-apa selain jalan cerita. Dasar ilmunya nol, aku gak mudeng.”
Kami tertawa.
“Apapun itu, yang penting aku butuh sudut pandang orang lain dalam menilai. Btw, aku jalan ya, takut nggak keburu.”
“Ya wis, hati-hati jangan ngebut. Jalan tiga puluh aja kalau perlu.”
Ngeledek dia.
“See you, Adam.”
Aku melambaikan tangan sebelum memakai helm. Gerimis masih belum berhenti, mendung di arah barat masih pekat. Aku bawa mantel sih, tapi malas pakai, ribet.
“See you, Rex.”
Rex, adalah nama panggilanku. Banyak yang memanggilku dengan sebutan itu. Nickname dari Tyranosaurus atau T-Rex. Enggak tahu dulu awalnya gimana, tahu-tahu mereka memanggilku begitu.
“Salam buat Lina dan Juna,” salamku untuk istri dan anaknya.
“Halah, kena omel aku nanti. Kalau tahu kamu ke sini tapi nggak mampir.”
Aku tertawa lagi sebelum menjawab,” Lain waktu. Minggu kemarin udah mampir kan. Bye, Adam.”
“Hati-hati, ya.”
Aku pergi membawa setengah gelas kopi Americano yang belum kuminum.
Dari kawasan MAJT Menuju Semarang kota ini yang ngeselin. Di mana ada drama, aku kesasar dan akhirnya tersesat. Aku tahu ini rada malu-maluin, but, it’s so weird to me. Percaya enggak percaya. Aku juga enggak tahu kenapa, GPS itu sebentar-sebentar mati. Otomatislah aku berhenti, beberapa kali sinyal mendadak hilang.
Dari yang awalnya janjian ketemu di depan Udinus, malah aku ditinggal. Oke ini salahku yang milih rehat di Taman Indonesia Kaya dulu. Capek. Sebenarnya, nunggu GPS akif lagi di situ. Mengirim pesan Whatsapp saja susah terkirim. Sudah jam dua lewat dan aku masih bertahan di taman, bingung deh mau ke mana.
Terus aku nelpon, em itu si Abang aka Kak Textra. Dikasih tahu arahnya and then dia bilang acaranya ada di lantai tiga. Ketemu gedungnya aja belum.
Well, kalau enggak cepet bergerak bisa-bisa aku enggak jadi datang ke acara bedah buku Kisah Tanah Jawa. Pasrah. Frustasi aku sama hape dan sinyal yang ngambek-ngambekan. Aku jalan sesuai arahan.
Guess what, aku tetap enggak menemukan itu gedung alias hotel tempat acara diadakan. Malahan nih ya, malahan aku sampai di depan Udinus lagi.
Keputusan terakhir, aku berhenti di bawah pohon. Terus buka hape, sinyalnya enggak ada. Aku restart. Terus minta dijemput, kalau enggak dijemput aku bakal cari tempat ngopi aja dah. Udah enggak minat sama acara bedah buku lagi. Capek aku tuh.
Dijemput sih, tapi diketawain juga. Ah bodo amat, salah dia juga aku ditinggal. Sampai tempat bedah buku sudah jam tiga. Di sana ternyata, jenis acaranya lebih ke klenik kata Kak Textra. Iya sih memang, enggak seperti bedah buku-buku gitu. Lebih menceritakan ke pengalaman spiritual dan berhubungan dengan metafisik.
Nah, itu mungkin alasan kenapa aku dibuat tersesat. Acaranya enggak sesuai ekspektasi. Bukannya menyimak, kita malah ngobrol sendiri enggak jelas.
Selepas acara, aku nunggu ikutan sesi foto, biar bisa sedikit ngobrol sama tim Kisah Tanah Jawa. Sedangkan Kak Textra dan temannya alias Kak Tegal, nama akunnya Lapak Buah, kalau enggak salah. Salah enggak sih, Kak? Kena pasal UU ITE, kalau aku sampai salah sebut akun orang. Mereka turun ke bawah nyari udara luar.
Bertolak dari tempat bedah buku, kita bertiga nyari tempat makan, ngobrol banyak soal apa saja. Bukan ngobrol aja sih, sesekali ada aroma meng-ghibah juga. Menjelang waktu isya’ kami pindah ke kampus Udinus, yang satu area dengan tempat workshop waktu itu. Cuma beda gedung aja sih, semacam basecamp menurutku. Di sana banyak temen-temen Kaplink. Rame.
Insiatif Kak Textra membuat kafe ala-ala, mindah-mindahin kursi, meja, bangku panjang, kafe dadakan di bawah langit mendung. Tak lupa kopi hitam tersedia, menu wajib.
“Nge-cas sini, Yuk,” ajaknya sambil naruh colokan dengan kabel panjang di bawa salah satu kursi.
Aku yang duduk di pendopo sambil ngecas, garuk-garuk kepala deh. Mau ngapain juga di sana. Ngeri loh, di langit sana sesekali ada kilat menyambar, meski enggak terdengar suara petir.
“Nanti hujan loh,” sanggahku.
“Enggak mungkin. Kita punya pawang hujan.”
Tak berselang lama, beberapa temen sudah duduk di tempat hasil kreativitas Kak Textra. Aku pun turut serta di antara mereka.
Banyak unpredictable conversation yang terjadi. Mulai dari psikologis anak, ngomongin pacar, bahas lagu-lagu keren, sampai tetiba menyinggung politik juga. Obrolan yang paling absurd nan unfaedah sampai yang berbobot dan membuat kita hening sejenak lalu mikir. Aku sih mikir, enggak tahu kalau mereka.
Sampai ketika aku ingin bilang sesuatu pada mereka semua. Karena kurasa aku perlu memberitahukannya.
“Pada pengen tahu nggak sih, siapa pasangan idealnya?” tanyaku.
Senyap. Semua jadi diam. Ada yang menggeleng sembari memandangku dengan air muka penasaran.
“Kalau kamu pengen tahu siapa pasangan ideal—“
“Pasti mau bilang ‘aku’.”
Kak Textra motong omongan seraya nunjuk aku. Menyebalkan. Serius, Kak, itu nyebelin tahu. Buyar sudah apa yang mau aku bilang tadi.
“BUKAN!” sanggahku sambil mukul kakinya yang mlengkrang di atas kursi.
Oke, intinya begini yang pengen aku jabarkan. Kamu pengen punya pasangan yang ideal? Lihatlah kembali karakter orang tua masing-masing. sudah dibuktikan oleh survei, bahwa orang tua adalah cinta pertama seorang anak. Jika perempuan baiknya melihat karakter ayah. Untuk laki-laki menelaah karakter ibu.
Jikalau karakter beliau ada yang kurang baik, jangan dilihat. Ambil baiknya saja. Kita dirawat dari kecil sampai dewasa oleh mereka. Mungkin seseorang pernah merasa bosan? Pernah ingin putus hubungan? Pernah merasa benci atas satu kesalahan? Pernah ingin berlari dari orangtua?
Sekali lagi, pemikiran itu hanya akan sebatas jadi kata ‘pernah’. Mungkin terlintas dan ada niat. Namun, jika seseorang masih punya akal sehat dan tingkat kewarasan yang baik. Seorang anak tidak akan mampu mewujudkan kata ‘pernah’ itu menjadi ‘sudah’.
Sudah bosan.
Sudah putus hubungan.
Sudah benci karena kesalahan.
Sudah berlari dari orang tua.
Sekali lagi, deretan empat kalimat di atas tidak akan terjadi, ketika anak masih sehat jasmani dan rohani. Baik pun waras akal juga spiritual.
Tentu karakter pasangan yang hampir mirip dengan orang tua, adalah tolok ukur agar tidak merasa bosan menjalani hubungan, terutama pernikahan. Sebab menikah itu bukan sehari dua hari, sebulan dua bulan. Do’a dan harapan kita semua, menikah sekali seumur hidup. selama hayat terikat dengan satu komitmen yang sama selamanya. Tak bergeser meski seringkali goyah.
Bolehlah, coba tengok pasangan masing-masing. Ehem karakternya agak mirip dengan orang tua apa belum? Kalau belum jangan lantas minta putus yak? Wah kacau deh.
Itu hanyalah bahan pertimbangan. Sekali lagi, selama bisa saling mengerti dan memahami. Seperti apapun karakter pasangan yang saat ini ada di sisimu, pertahankan dia.
Waktu di sana, enggak sampai aku jelasin sepanjang ini. Soalnya, lagi-lagi Kak Textra merusak suasana. Harapanku padahal, ada yang mau cerita tentang pasangannya, sekalian buat contoh. Yang terjadi adalah, orang yang duduk di sebelahku malah cerita masa kecilnya. Well, masa kecil yang bahagia, sebab ada kenangan yang membuat dia tertawa saat mengingatnya.
Untuk kasus psikologis anak, sudah ada contoh real waktu itu. Seorang putra, Kak Siapa, aku enggak sempat bertanya nama. Lain waktu kalau bertemu, ingin kutanya bagaimana perkembangan anak laki-lakinya sebelum dan sesudah kuberi saran dan pendapat mengenai pola asuh.
Sembari menyeruput kopi hitam yang kepahitan. Tetep aja pahit meski aku tambahin gula sendiri. Tapi enak, masih pahit kopi Gayo atau double espresso. Aku mengecek ponsel pun mengaktifkan jaringan data.
“Fi, sampai jam berapa? Enggak ngasih kabar dari sore!”
Lah, aku lupa memberitahu mereka. Ada empat pesan dari orang berbeda dengan pertanyaan yang sama. Gini nih, kebiasan. Kalau lagi ngumpul sama temen, abai sama ponsel. Em bagus enggak sih kebiasaan seperti itu?
Catatan perjalanan, 10 Maret 2019
Ditulis 19 Maret 2019
Wkkwkw … maafkan-maafkan ??
Yaps, ya kalik aku tega ada orang pindah nangis dari perbatasan Jawa ke Ibu kota ???
Tapi kan dapat foto sama pengarangnya kan ??
Ih jahat banget, elah. ?
Ya nggak usah disebut aku mau nangis. Nggak bakal nangis juga kalik, Kak. ?
Wkkwkw kan siapa tahu karena capek mubeng-mubeng pemuda wkkww sampai 4 kali ???
Aku kemarin baru baca judulnya doank kukira isinya sama kek kemarin. Eh ternyata sesuatu yang hangat kaya kopi wkwkkk ?.
Kopi itu menu wajib, Kak Ibbon. Kalau ngobrol nggak ada kopi, rasanya nggak seru deh. ?
Oh gitu. Mari nge-teh mari bicara boleh nggak hihii ??
Kek iklan apa gitu. Wkwkwk btw, aku ngga suka ngeteh Kak Ibbon. Mending air bening ajah.
Lebih hemat malahan air putih aja ?. Daku nggak ngombe kopi ????
Sudah move on kak Yuke????
Btw, itu gimana ya cara bikin tulisan di coret begitu?ah, punten. Icha gaptek heuheuheu
Yang dimaksud move on sama Kak Icha siapa nih? Kok ada tanda tanya di situ.
Ada kok, cara bikin tulisan dicoret, tengok toolbar coba explore lagi.
Air putih lebih seger, Kak Ibbon. Kalau nggak ada kopi buat temen ngobrol. Wkwkwk
Jadi pasangan ideal cewek tu seperti ayah kita? ? Wah waaah
Idealnya seperti itu, Kak. Kalau bisa ya, yang karakternya seperti ayah masing-masing. Hehee
Hiyaak. Meetupnya ruaarr biasa ya kak Yuke. ?
Petualangan muter2nya juga syeruu. Hihii
Meet up sama anak Kaplink always luar biasa, seru sampai lupa waktu. Wkwkwk
Muter-muternya itu yang jadi cerita paling gokil. ???