Berawal dari obrolanku dengan dua teman cowok berbeda daerah, yang satu asli Solo, yang satu lagi kelahiran Sunda. Keduanya mengomentari hal yang sama tentangku, yaitu aksen daerah. Pas aku sebut nama tempat kelahiranku, salah satunya ada yang nggak percaya. Dengan alasan, orang daerah asalku punya ciri khas berbahasa yang cukup mencolok.
Harus kuakui kalau memang, tempat tinggalku punya aksen yang kental. Karena letaknya di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahasa jawanya lebih terpengaruh dialek Timur. Tapi mereka masih kekeuh bilang kalau aku tuh, nggak punya aksen. Terus apa masalahnya? Ya, nggak ada sih.
Cuma aku jadi berpikir tentang seberapa pentingnya aksen dalam diri setiap orang. Aksen, atau yang kita tahu adalah ciri khas setiap orang, baik secara gerak tubuh, pembawaan, kebiasaan, ragam bahasa juga cara bicara.
Menurut pengamatanku, aksen dipengaruhi oleh ruang tumbuh, lingkungan semasa kecil, juga pergaulan ketika seseorang sudah beranjak dewasa. Dan aksen ini sendiri bisa berubah tanpa disadari, atau memang sengaja diubah untuk alasan tertentu.
Aku sering menjumpai teman yang masih kental membawa aksen daerahnya, misal yang dari Solo itu. Meski dia tumbuh di Jawa Barat dan sekarang tinggal di Semarang, tetap saja cara bicara dan bahasanya khas orang Solo. Pas aku tanya, kenapa dia masih bertahan dengan hal itu. Dia bilang, “Naluri, susah-susah gampang diubah. Yang bikin malu itu, kadang keceplosan kosa kata yang nggak semua orang ngerti.”
Aku setuju soal itu. Membawa aksen daerah, akan langsung menjadi tampak berbeda ketika kita ada di lingkungan baru. Tentu akan memancing pertanyaan dalam benak orang lain. Dari mana asal daerahnya? Kalau orang yang tetap membawa aksen itu tadi, punya percaya diri tinggi dan masa bodo dengan ragam reaksi orang lain. Tentu nggak jadi masalah. Repotnya kalau nggak siap menerima segala respon, bukannya kita bisa berbaur di tempat baru. Yang ada malah akan menarik diri, untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan, atau malah risi menjadi pusat perhatian.
Temanku yang kedua, cowok Sunda yang kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Dulu, dia sering mengeluh tentang ketidaknyamanan dan rasa mindernya berbaur dengan mahasiswa lain. Hanya karena sering salah omong, gayanya mau niru ngomong Jawa, eh ternyata apa yang dia katakan kurang tepat. Alhasil malah jadi bahan candaan. Dia sempat mogok bersosialisasi, sampai akhirnya punya kepercayaan diri lagi. Aku sarankan sama dia, “Akui aja kalau emang nggak bisa bahasa daerah, mereka pasti bakal ngerti kok. Pakai bahasa Indonesia kan aman.”
Karena aku percaya bahwa, aksen ini secara garis besar sangat dipengaruhi oleh keseharian, dengan siapa setiap hari kita berkomunikasi. Jadi meskipun, awalnya punya aksen yang kental. Bukan nggak mungkin, setelah beberapa waktu tinggal di tempat lain, dialeknya juga akan berubah.
Sedang aku sendiri, secara nggak sadar kehilangan aksen daerah. Kalau ditanya sedih apa gimana? Ya nggak juga. Aku yang sekarang, sama sekali nggak membawa ciri khas. Aku lebih suka meng-copas lawan bicara. Jadi misal, aku ngobrol sama siapa, secara reflek akan mengikuti tutur bahasa dan dialek orang itu. Aku sengaja melakukan itu, bukan tanpa alasan.
Menurutku sendiri, akan lebih mudah berbaur dengan orang baru di tempat baru, jika aku menyesuaikan diri.
Poin pertama, orang yang diajak bicara nggak akan ngerasa janggal dengan tutur bahasaku.
Poin kedua, akan lebih enak didengar jika aksennya mirip. Biasanya akan membuat orang lain lebih nyaman bercakap lama-lama.
Poin ketiga, kalau sudah bisa memulai percakapan di tempat baru. Tentu, kita akan mendapat banyak kemudahan, baik dalam menjalin pertemanan, atau minta bantuan. Mungkin butuh informasi tentang sesuatu atau apa.
Makanya, terkadang aku lebih suka diam dulu pas di tempat baru. Hanya untuk mengamati seperti apa lingkungan dan percakapan mereka. Terkesan manipulatif, ya?
Memang iya. Tapi, ramahku nggak manipulatif kok. As you know about me. Cerewet selalu, kadang suka sok tahu wkwkwkwk ….
Btw, kembali ke topik aksen itu tadi. Sah-sah saja bukan, mau mengubah aksen atau tetap dengan pembawaan yang sudah ada? Yang penting mah nyaman, dan percaya diri saja. Semua kembali ke pilihan masing-masing, dan aku punya quote buat penutupan.
Buatlah dirimu jadi seseorang bukan menjadi seseorang.
Karena jadi diri sendiri itu lebih menyenangkan dan membahagiakan. Bener apa bener?
Under the Same Sun
Minggu, 25 Agustus 2019