Halo kawan, lama tak bersua. Selamat berakhir pekan, semoga harimu menyenangkan.

Ini ceritaku yang nekat ngebolang sendirian ke Jogja. Awalnya berencana naik motor dengan teman, apalah daya teman berhalangan sehingga aku harus berangkat sendiri naik bus. Soalnya kalau nekat sendirian naik motor, aku belum punya SIM. Hehe.

Hikmahnya adalah, jangan merencanakan sesuatu hanya satu saja. Abjad masih banyak. Ketika plan A gagal, masih ada plan B. Plan B gagal, masih ada plan C sampai Z. Banyak jalan menuju Jogja. Eh ralat, Roma.

Naik bus ada positifnya juga kok. Kita bisa tidur di sepanjang jalan, bahkan kenalan dengan orang-orang. Yaaa soalnya aku takut mabuk darat kalau nggak tidur. Selain itu, hemat energi. Kontribusi kecil kita amat berarti bagi bumi tercinta. Tak peduli kamu penganut pendapat bumi bulat, datar, atau bahkan berbentuk donat. Bukan ngelawak. Tengok saja deh, pendapat bumi berbentuk donat ternyata juga ada.

Baiklah, perjalanan dari Temanggung – Jogja kutempuh selama 3 jam dengan niat yang hanya Tuhan dan aku yang tahu. Namun, setiap tindakan yang akan kita lakukan, berkah atau tidaknya selalu tergantung niat. Jadi, kuniatkan silaturahmi, mencari ilmu, membantu teman, sekaligus yang terakhir: main.

Berhentilah aku di terminal Jombor dengan suka ria. Aneh, badanku lelah, hati seharusnya nelangsa karena sendirian, tapi aku justru fit dan setrong wal afiat. Baguslah, hal ini dapat memantik semangat lebih dalam.

Pertama kali naik Trans Jogja, aku langsung turun di tempat bazaar buku Patjar Merah. Daripada suwung menunggu ada yang menemani, mending sendiri sambil me time. Dan itu … Not bad at all. Serrrru, Guys!

Pukul 12.00, aku sampai di lokasi  PatjarMerah daerah Kotagede. Langsung saja aku masuk. Rupanya Patjar Merah ramai sekali. Langit Jogja juga cerah. Semacam sambutan alam ketika aku memijakkan kaki di kota pelajar ini.

Setelah mampir toilet dan musala, aku hunting buku di sana. Lengkap sekali. 8000 judul, Cuy. Buku jenis apa pun dari penerbit mana pun ada. Cukup lama aku memilih-milih, 2 jam lho! Tas ranselku sampai lama-lama memberat. Hingga terbelilah 3 buku: 2 fiksi dan 1 buku psikologi.

Setelah menuju kasir, aku duduk di kursi yang sebetulnya disediakan untuk lokakarya di tengah-tengah ruangan. Banyak juga yang duduk di situ. Ada yang sambil membaca, ngobrol, bahkan sekadar duduk melepas lelah. Berjalan mondar-mandir hunting buku cukup menguras kalori ternyata.

Ah, aku jadi ingat kalau siang ini belum makan. Terakhir makan ya sarapan di pagi hari sebelum meluncur ke Jogja. Lalu kuteguk air mineral dari tupperware yang sudah diwanti-wanti Ibu supaya tidak hilang. Lumayan menyegarkan dan menenangkan lambung yang sedari tadi berisik.

Tak lama, aku kembali ingat tujuan awal ke sini. Pertama, silaturahmi. Tadi sudah silaturahmi dengan penumpang yang duduk di sebelahku di bus. Kali ini, di tempat Patjar Merah ini, aku akan silaturahmi dengan panitianya. Siapa tahu, setelah itu aku bisa menjalankan niat kedua. Belajar alias cari ilmu.

Setelah pundak sedikit lega oleh ransel yang seperti ditambahi beban berkilo-kilo, aku pun menghampiri salah satu panitia berkaos “Patjar Merah” warna putih yang tampak tidak terlalu sibuk. Namanya Mbak Tia. Beliau ini rupanya volunteer, sehingga kurang tau seluk beluk acara. Setelah kenalan beberapa saat, aku pun kembali duduk. Memutuskan untuk menengok ponsel karena amat bosan.

Jam sudah menunjukkan pukul 15.30. Aku menghampiri tempat di sisi belakang gedung — sebenarnya gudang —  dan duduk untuk mengikuti obrolan dengan Pimred Bukune (Mas Syafial Rustama), Pimred Shira Media (Mas Cahyo Satria), dan 2 penulis muda yaitu Mbak Shifra Lushka dan Mbak Asabell Audida. Materi yaitu soal “Korean Waves dan Industri Buku Indonesia”.

Sebagian besar, peserta yang mengikuti obrolan adalah Kpopers. Baiklah. Setidaknya aku bukan sama sekali yang apatis terhadap Korean waves alias halyu kalau kata mbak moderator.

Materinya menarik. Bukune, sebagai penerbit yang banyak mencetak buku berbau Korean waves, ternyata sasaran marketnya adalah remaja. Sehingga tulisan soal Korea yang mungkin bagi sebagian orang adalah alay, sebenarnya banyak hal positifnya. Begitu pun penerbit Shira Media yang juga banyak mencetak karya fiksi maupun nonfiksi berbau Korea karya anak bangsa.

Industri penerbitan memang harus mengerti pasar secara komprehensif dan sesuai sasaran. Korean waves nyatanya banyak digemari para remaja dan dewasa muda. Lalu menyoal Korea, terutama di bidang entertainment, alih-alih muka bening mulus oppa-oppa tampan, banyak perjuangan positif yang bisa kita tiru dan modifikasi.

BTS (Bangtan Boys) contohnya. Hei, jangan dikira aku ini Army (penggemar BTS). Aku samaaa sekali nggak ngerti BTS. Hanya sering mendengar. Sementara yang ikut obrolan ini kebanyakan adalah Army. Tapi, kalau kita bisa banyak belajar, why not? Bahkan mas-mas pimred yang duduk di panggung itu pun harus memposisikan diri sebagai penggemar Kpop untuk mengembangkan industri penerbitan mereka.

Mbak Shifra, adalah penulis buku nonfiksi yang mengulas soal BTS. Bagaimana BTS mengonsepkan lagu yang tidak hanya enak didengar, tidak melulu jingkrak-jingkrak ngedance, tapi juga filosofis dan berisi. Lirik lagu BTS pun banyak yang berisi kritikan sosial lho. Meski aku tidak tahu satupun lagunya, tapi itu keren. Mereka berkarya dan bermanfaat untuk masyarakat dengan cara mereka sendiri.

Lalu Mbak Asa, adalah penulis fanfiction yang tokoh-tokohnya terinspirasi dari selebritis Korea. Beliau banyak menceritakan soal perjuangannya menulis. Mengutip kata-katanya,

Menulis itu seperti berenang. Nggak bisa langsung ngambang, tapi berlatih dulu dengan terus menulis.”

Obrolan yang berlangsung selama 2 jam itu sungguh seru dan banyak pelajaran. Mana di sekitarku juga banyak orang hebat. Di belakangku, sudah ada Mas Alexander Thian yang akan mengisi obrolan selanjutnya, ada juga Mbak Windy Ariestanty sebagai penggagas Patjar Merah dan masih banyak orang-orang keren lainnya.

Setelah obrolan selesai, aku kembali mencari Mbak Tia. Beberapa menit kemudian, atas saran beliau, aku menghampiri panitia lain yang dirasa mengerti soal acara secara utuh. Ketika kujawil dari belakang lalu berkenalan, namanya Mbak Anggi. Yah, rupanya beliau juga volunteer. Setelah berbincang sedikit dan minta nomor ponsel, aku pun diantar beliau ke MC acara obrolan.

Rupanya aku diarahkan lagi ke Mbak Chintya yang merupakan panitia inti. Baru sampai perkenalan, beliau sudah bilang, “Mbak kalau mau tanya-tanya soal acara, langsung saya panggilkan Mbak Windy saja bagaimana?”

“Waduh Mbak, saya malah nggak enak kalau beliau sibuk,” balasku. Deg-degan juga. Hei, aku grogi sekali. Ngobrol dengan Mbak Windy? Ya ampun, mimpi apa semalam!

“Nggak pa-pa.”

Tak lama, Mbak Windy datang. Kami berjabat tangan dan berkenalan. Kusampaikan maksudku untuk silaturahim sekaligus mau belajar dari acara Patjar Merah ini. Tentu saja, atas nama Penakata.

“Gimana? Ada yang bisa saya bantu?”

Tak terduga, pertanyaan Mbak Windy sungguh membuatku makin bersemangat. Bagaimana tidak, kukira beliau sibuk menjamu tamu-tamunya, namun tetap mendengarkan apapun yang kusampaikan. Bahkan tak lupa, kusampaikan soal Penakata yang punya banyak impian. Meski masih bayi dan bau kencur, namun impian tinggi sungguh tak dilarang. Gratis pula.

“Penakata ini milik siapa?” tanyanya.

Kujawab saja, “Milik Kak Textratis, Mbak.”

Beliau tampak mengerutkan kening. Ya wajar, Mbak Windy belum pernah kenalan dengan Kak Textratis. Lalu kusebutkan saja satu persatu orang-orang di Penakata. Ya para goodwriters, maupun orang-orang dibalik layar.

Sudah kuduga. Beliau mana tahu. Dengar nama Penakata saja mungkin baru kali ini. Langsung kuklarifikasi dengan nada tidak pedeku, “Memang sih Mbak, orang-orang yang ada di Penakata bukan orang-orang terkenal.”

Saya tidak peduli dengan siapa, justru saya senang dengan orang yang punya mimpi,” katanya. Akan kuingat sampai kapanpun. Siapapun boleh bermimpi, Guys. Sekalipun itu kaleng rongsok. Asalkan mimpinya bermanfaat bagi orang lain, mengapa tidak?

Baguslah. Kepercayaan Mbak Windy untuk Penakata sepertinya mulai ada. Semangatku kembali membara. Penakata yang kaleng-kaleng, suatu saat akan jadi berlian!

Lalu, ketika kutanya soal acara, rupanya Patjar Merah ini sudah beliau konsepkan bersama Mas Irwan Bajang sedari Oktober lalu. Dan mengejutkannya, dukungan-dukungan dari penerbit maupun pembicara, Mbak Windy dapatkan dari pertemanan yang solid.

“Pertemanan yang solid itu penting. Ini lebih berharga daripada uang.”

Betul nggak Guys? Menurutku, itu memang nyata. Penakata juga ada berkat pertemanan yang solid. Termasuk teman-teman goodwriters semua yang selalu ada untuk Penakata.

Inilah power hebat Homo sapiens dibanding spesies manusia lain. Bisa membentuk kerja sama atas nama sesuatu yang bahkan tak berdaging dan tak bertulang. Penakata. Pernah teman-teman bayangkan nggak kalau Penakata itu ya sebenarnya tidak ada? Tapi menjadi ada karena kita!

Kembali ke Mbak Windy. Beliau pun mendukung apa saja yang akan Penakata lakukan dan cita-citakan, meskipun apalah Penakata di mata orang-orang. Hei, ini punya kita lho Guys. Jangan biarkan orang-orang memandang sebelah mata!

Hingga akhir perbincangan, kututup dengan foto bersama. Masih merespon baik, beliau dengan akun instagram @windy_ariestanty merepost instagram story akun @penakatadotcom dan mengatakan, “Keras kepalalah untuk menggapai mimpi @penakatadotcom! Jika ada yang bisa dikolaborasikan dengan @patjarmerah.id, jangan ragu untuk ketuk pintu. Kami selalu mendukung kerja-kerja literasi.”

Yeyyyy. Senang sekali. Pintu silaturahim dengan beliau terbuka lebar-lebar. Segala grogi dan ciutku hilang sudah berganti semangat. Tak tertinggal, pelajaran juga kudapat. Pelajaran yang tak pernah kudapatkan di bangku sekolah hingga kuliah.

Hari selanjutnya, selain bisa bersilaturahmi dengan saudara, juga dapat bertemu dengan 2 goodwriters asal Jogja yang menyambutku dengan luar biasa. Rindu dan Kak Dan. Terima kasih sudah menemaniku jalan-jalan di Malioboro dan ngobrol seru di kafe.

Semoga persaudaraan kita ini semakin solid. Jika harta berharga adalah keluarga, mungkin yang kedua adalah persahabatan atau pertemanan.

Hari ketiga di Jogja, kulewati dengan membantu teman mengerjakan penelitian. Pelajaran satu lagi. Membantu teman itu melegakan. Daripada menolak memberi bantuan berujung rasa bersalah.

Hari keempat, aku pun pulang memikul rasa lelah. Namun semua itu menguap seiring rasa kantuk yang menyergapku di sepanjang Jalan Magelang. Hujan deras, mengiringi kepulangan dari kota istimewa.

Yogyakarta, 3-6 Maret 2019

15 KOMENTAR

  1. Karena ada BTS nya aku terpanggil wkkk. Kalo aku dibilang korean waves atau hallyu enggak juga ?, takut jadi hallu nanti. Memang iya BTS itu lagunya banyak filosofinya. Mereka itu boyband dari agensi kecil namun bisa mendunia.
    Entahlah virus K-Pop itu menjangkitiku sejak ndidalah bertemu dengan teman-teman yang suka dengan musik Korean Pop ini. Dulu awal mendengar musik K-Pop akupun berpikir. Kok pada suka ya?
    Tapi kalo tahu terjemahan arti dari lagunya itu ya bagus. Apalagi soal cinta wah dalem banget wkkk. Menurutku mendengarkan musik K-Pop itu tidak membosankan. Mungkin itu juga salah satu alasan penikmat musik K-Pop ini banyak. Kalau masalah visual sih ya gitu deh, tahu sendiri negara Korea Selatan. Nggak sembarang orang bisa idol K-Pop trainee nya pun berat loh. Makanya perform mereka selalu all out. Terus sering practice juga. Gemblengannya beda wkkk. Baiklah saya akhiri takut jadi panjang lebar ?.

    • Waaah waaah. Hai Kak Ibbon ?

      Betul Kak. Meskipun aku bukan Army, katanya video klip BTS pun konsepnya selalu “berani” dan berisi. Gak cuma konsep yang gitu doang. Mengandung arti. Hihi

      Aku tau lagunya exo kak, meskipun bukan exo-L juga wkwk. Ya gitulah. Memang lagunya enak didengar kok.

      Iya kak. Kerennnlah. Bahkan industri kpop aja pemerintah ada bidangnya sendiri kan? Heheh

  2. Wow, Dasamuka memang keras kepala kok. Tega banget ngerjain (yang bikin senang) seorang perempuan sampai empat hari. Kayaknya, pesanan buku Dasamuka banyak, ya? Wkwkwk.?

    Apa pun rencananya, selama untuk kebaikan orang banyak, tetap semangat, ya? Untuk Penakata dan semua orang yang ada di balik layar. ??

    Kalau perjalanan jauh alias ke luar kota, enaknya pakai bus kok. Pakai motor melelahkan dan sakit pinggang juga. Wkwkwk. Di bus bisa tidur, dengar musik, menonton, dan mengobrol. Dari Temanggung ke Yogya itu sesuatu banget. Wkwkwk. Ah, aku cuma bisa bilang, “SEMANGAT! Tetap SEMANGAT! Selalu SEMANGAT!” ??

    • Wkwkwk takut salah pihim. Ini bukan permintaan Kak Dasamuka kok Kak wkwkw. Emang mau main ajah. Pas kebetulan ada acara itu. Apalah daya, teman kuliah yg akan menemani malah berhalangan hueheheh

      Semangat juga untuk Kak Ana ?

      Temanggung ke Yogya dekat kak sebenarnya. Cuma baru first time aja naik bus wkwkwk. Dan itu menyenangkan. Yeyyy wkwkwk