Sumber gambar : pexels/ brigitte tohm

Kehidupan tidak pernah lepas dari yang namanya masalah, setuju? Ia sudah seperti bayangan yang selalu mengikuti. Saya rasa di dunia ini manusia tidak ada yang tidak memiliki masalah sama sekali. Tapi kita juga harus tahu, tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi. Walau prosesnya berbeda-beda.

Masalah adalah sesuatu yang harus dipecahkan. Sesuatu yang harus diselesaikan. Tanpanya hidup seakan flat. Walau tak jarang masalah bisa menjadi hal yang sangat menakutkan untuk dihadapi.

Banyak yang malah memilih untuk menghindari permasalahan karena ia tak yakin bisa melewatinya. Tak jarang berdampak pada kejiwaan yang akhirnya memendekkan pikiran hingga baginya jalan satu-satunya adalah dengan mengakhiri hidup, maka berakhirlah juga masalah.

Kejiwaan seseorang memang tidak boleh dianggap remeh. Pasti sering dengar dong banyak kasus bunuh diri baik itu gantung diri maupun lompat dari gedung tinggi hanya karena masalah-masalah yang–sebagai penonton kita kadang menganggapnya sepele. Menyayangkan hal itu terjadi tanpa paham duduk permasalahannya di mana. Kita bahkan tega ramai-ramai men-judge dia terlalu lebay dalam menghadapi masalah.

Sekilas memang terkesan remeh karena  tidak mengalaminya sendiri. Kadang ketika melihat orang-orang galau di sosmed dengan gampangnya berpikir, “Apa sih, lebay banget.”

Ya mohon maaf kalau ada sebagian dari kita tidak berpikiran seperti itu. Namun saya rasa ada banyak yang bertindak sepele, dan kalau sudah dapat permasalahan yang sama baru deh ngerasain.

Saya gak memungkiri pernah juga berada pada posisi menyepelekan permasalahan orang. Hingga pada titik di mana mengalaminya sendiri ya emang rasanya ada pahit-pahitnya gitu. Terus dalam hati bilang, ohh ternyata begini rasanya. Bahkan mungkin kelebay-an saya lebih-lebih dari orang yang saya remehkan tadi.

Sejak itu saya paham, mengalami dan menghadapi masalah gak segampang men-judge masalah orang lain.

Hal yang saya lakukan sejak saat itu adalah memahami mereka dari sisi lain. Jika orang tersebut saya kenal atau bahkan sahabat dan saudara, mungkin akan saya ajak bicara, mengobrol dan memosisikan diri sebagai pendengar. Bila perlu memberikan solusi. Walau belum tentu dia terima. Kalau orang-orang  umum mungkin saya akan menghindar dari sikap men-judge apalagi menyudutkan.

Sayangnya, terkadang yang memiliki masalah ini merasa tidak bisa terbuka dengan siapapun. Walau bisa sekilas curhat di sosmed tapi tidak menutup kemungkinan dia tidak bisa terbuka secara menyeluruh ke orang-orang yang mau mendengarkannya. Bahkan kepada orang yang sangat ia percaya.
___________

Permasalahan kedua adalah dari 2 pihak atau lebih. Jadi ini lebih kepada masalah antara “aku dan kamu”, “Kamu dan dia”, “Atau aku dan kalian”

Banyak dari kita yang akhirnya memutuskan untuk pergi dan meninggalkan dia atau mereka hanya untuk menghindari konflik atau merasa tidak sanggup menghadapinya. Mending pergi dan lupakan semuanya. Ya, mungkin bagi sebagian mereka yang punya sifat cuek atau bisa masa bodo dengan permasalahan, ini sangat gampang dilakukan. Tapi ada juga yang merasa kesulitan. Alih-alih merasa lega, malah jadi kepikiran terus, mengendapi tanya demi tanya dalam hati hingga membuat konsentrasi pecah ke sana ke mari. Alhasil kerjaan jadi berantakan, pikiran pun semrawut karena sepertinya masih ada saja yang mengganjal.

Kadang kita juga masih saja bertahan untuk tak ingin berdamai dengan keadaan. Hingga terparah muncullah rasa dendam yang menggelora. Menjangkiti hati dan merusaknya hingga timbul sifat iri-dengki. Energi negatif pun pasti akan mengalir menguasai diri. Dampak akan terlihat dalam kehidupan kita. Kurang bisa menerima, pikiran selalu negatif bahkan pada orang yang sebenarnya berniat baik. Energi negatif itu seakan halangan bagi kita untuk menjadi orang yang positif dan masih banyak kerugian-kerugian lainnya.

Dua permasalahan di atas terinspirasi dari pengalaman sahabat dan diri saya sendiri.

Sahabat saya bilang saat itu, “Kamu enak bisa terbuka dan bisa mengeluarkan unek-unekmu dengan gampang. Sedangkan aku sulit untuk itu.”

Bener sih. Ternyata memang tiap orang beda-beda. Saya sendiri tipe orang yang bisa jujur-jujuran dengan apa yang saya rasakan dan mau berdiskusi langsung bahkan pada orang yang menjadi biang masalah bagi diri saya. Tapi bagi yang lain, termasuk dia itu adalah hal tersulit. Kita bisa membayangkan kepada diri sendiri kok, apa sih yang sangat sulit kita lakukan? Nah, seperti itulah kurang lebih yang ia rasakan.

Well, jika tiap orang sama sifatnya, masalahnya, kegiatannya bahkan lingkungannya, hidup menjadi makhluk sosial seakan tak ada arti. Perbedaan itu ada agar kita bisa saling melengkapi. Saling memberi pengertian atau solusi tanpa berpikir kita yang paling paham dibanding mereka. Hanya saja mungkin saat itu kita berada pada keadaan yang lebih baik, sehingga berharap bisa menjadi orang yang mampu memberi solusi yang terbaik untuknya. Karena suatu hari bisa saja kita berada pada keadaan yang terbalik dan harapannya dia akan melakukan hal yang sama.

Intinya apa? Demi terjadinya korelasi antara judul dan isi, maka inti dari semua ini adalah bagaimana cara kita bersikap sebagai pihak yang memiliki masalah dan pihak yang menjadi orang terdekatnya.

Ya seperti judul diatas, ” Kita Hanya Perlu Bicara, Sayang”

Sebagai manusia yang menyayangi, kita pasti tidak tega dong membiarkan orang yang kita sayangi terjebak dalam kondisi pikiran dan hati yang kronis. Sebisa mungkin kita akan menjadi orang yang terdepan membantunya. Naluri menyayangi melebihi suka dan simpati. Kita ingin melakukan lebih dan totalitas untuk mereka dengan cara yang paling terbaik.

Maka, bagi pihak yang memiliki masalah sebaiknya bicarakan saja dengan cara yang santun dan terbuka. Bila perlu pada mereka yang menyebabkan masalah dalam hidupmu. Bicara baik-baik. Mungkin ada kesalahpahaman atau kekhilafan. Bisa jadi kesalahan dia ada karena salahmu yang tak ingin ia bicarakan.

Setidaknya bisa berdamai dan memafkan orang lain adalah kelegaan yang sangat luar biasa. Seakan aura-aura positif berkelebat masuk memenuhi ruang-ruang jiwa kita.

Mari sama-sama mencari solusi. Bisa jadi memang benar, penyebab dari rasa tertekan pada dirimu bukan dari ‘masalah-masalah’ yang kau alami, tapi karena kamu terlalu egois untuk memendamnya sendiri. Terdoktrin dengan pikiran sendiri hingga terjebak dengan keinginan sulit mengatasi.

Padahal akan berbeda hal jika kita mau bertukar pikiran kepada orang lain. Mulai dan coba saja dulu berbicara dengan orang-orang terpercaya, pada mereka yang mau mendengarkan, mereka yang ingin memberi solusi tanpa harus menghakimi.

Jika pun rasanya begitu sulit memercayai orang lain, masih ada Allah yang mau mendengarkannya. Dzat yang paling terpercaya tanpa tandingan. Bicara padanNya. Mintalah yang terbaik karena Dia lah yang maha Pengasih lagi maha Penyayang.

Wahai masalah besar, aku punya Tuhan yang lebih besar

~Ayse di Film 99 Cahaya di Langit Eropa~

Catatan ini akan saya baca lagi jika suatu saat masalah baru menghampiri. Sebagai pengingat bahwa dulu saya pernah berada pada kondisi terbaik. Terima kasih.

4 KOMENTAR

  1. Yah, tulisan diatas setidaknya mewakili keadaan akoh saat ini. Akoh lebih memilih menutup diri sementara waktu buat menenangkan kondisi hati jg mental yg berada dlm lingkaran yg bisa akoh bilang masalah… bukan hanya masalah hati sih lebih besarnya kepercayaan diri yg tiba” saja down oleh sesuatu. Huff, akoh pikir dgn berdiam diri akoh bisa bebas nyata akoh justru didera rasa bersalah karna terlalu pesimis untuk bisa fight. Over all… akoh coba bangkit dengan sesuatu yg baru, yg bisa meramaikan khasanah per penakata an ini. Heleehhh, ribet lu Dik, sok bijak komentar…. hahaha…

    Kangeeennnn, Muuuuuee