pixabay.com/hsojhsoj

Kupakai baju baru warna putih dan celana hitam yang kubeli saat menemani Oot mencari kado buat Nua. Aku ingin tampil percaya diri dengan warna kesukaanku. Mungkin dengan cara itu aku bisa menemukan kebahagiaanku sendiri bersama sakitnya menahan perasaan.

Sembari menunggu Ajai datang, kuhibur diri dengan menonton film India. Ya, film yang untuk sebagian besar orang dipandang sebelah mata. Namun, bagiku film India itu drama cinta yang lebih banyak mengajariku menerima, meskipun dalam tetesan air mata.

Aku selalu memberi jeda pada hatiku, membiarkannya merasakan kepahitan yang sangat sebelum hal itu menjadi kenyataan. Kalaupun harus menangis, akan kuhabiskan seketika, sampai tidak ada lagi alasanku untuk bersedih. Lewat lagu dan film itulah aku melepaskan semua hal yang membuatku tidak baik-baik saja.

Suara ponsel berdering mengalihkan perhatianku. Ada panggilan masuk dari Ajai. Dengan tarikan cukup panjang, kuhela napas dan kuterima panggilan Ajai dengan senyum lega.

“Dah siap, La?”

“Sudah dong.”

“Oke, ayo berangkat! Aku juga sudah ready.”

“Oke.”

Kututup panggilan, kuambil tas kecilku. Untuk sesaat aku terpaku dalam diam, lalu kubuka pintu. Kuharap semuanya akan baik-baik saja. Ajai sudah berdiri di sana. Gegas kuayun langkah panjang. Aku tidak ingin terlihat lesu di hadapannya.

” Wuih, cantik banget, La!”

“Terima kasih,” jawabku singkat.

“Beneran, La.”

“Sudah, ayo berangkat! Oot minta tolong mempersiapkan acaranya lo, Jai.”

“Oke.”

“Sumpah! Kamu ngece, ya?”

“Kenapa?”

“Sudah tahu aku pendek, masa pakai motor setinggi ini? Enggak lucu tahu! Pakai motorku sajalah, Jai.”

“Ha ha. Bukan maksudku lo, La.”

“Bodo!” Aku membalas ketus.

Putaran roda melaju, menjelajah tiap jengkal jalan Kota Cilacap. Kami tidak banyak bicara. Aku fokus dengan perasaanku dan berusaha menjaga sikap. Ajai lebih memperhatikan jalanan yang sudah mulai ramai. Jarak yang tidak begitu jauh, cukup memberiku waktu untuk mengingat kembali daftar permintaan Oot. Mampir beli kue ulang tahun, memesan makanan dan minuman, serta lagu “Selamat Ulang Tahun” dari Jamrud yang abadi sepanjang masa.

Sesampainya di restoran, aku meminta Ajai menaruh kue ke dalam kulkas. Aku langsung mencari tempat duduk yang startegis dan best view. Sayang, ‘kan acara spesial dilewatkan tanpa kesan? Setelah tempat oke, barulah aku memilih aneka menu yang direkomendasikan. Tidak lupa juga berkoordinasi dengan pelayan untuk menyiapkan lagu permintaan Oot.

“Sudah beres semua, La?” tanya Ajai.

“Sudah.”

“Oke.”

“Oh ya, Jai, teman-teman sudah sampai mana, ya? Kok, belum pada datang?”

“Coba kuhubungi mereka ya, La.”

“Baik, Jai.”

Saat Ajai menghubungi teman-teman, aku mencoba mengirim pesan pada Oot bahwa semuanya sudah siap dan tinggal menunggu teman-teman datang.

“La, sebentar lagi teman-teman sampai.”

“Oke, Jai. Aku hubungi Oot dulu ya.”

Belum juga Oot membalas pesanku, sudah kukirim pesan kedua bahwa sebentar lagi teman-teman akan datang. Aku berusaha tenang menunggu balasan Oot. Tidak ada ketakutan selain harus mengalami kegagalan yang membuatku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Apalagi ini acara berharga untuk Oot. Aku ingin semua berjalan sesuai rencana dan bisa memberikan kesan yang tidak terlupakan.

“La, minum dulu.” Ajai menyodorkan segelas minuman padaku.

“Terima kasih, Jai,” jawabku dengan senyum tipis.

“Kulihat kamu sedang cemas. Karena aku bukan motivator, biarlah cokelat itu yang berbicara.” Ajai berusaha menghibur.

“Garing, Jai.”

“Hem. Namanya juga berusaha, La.”

“Maaf, Anda belum beruntung, coba lagi ya.”

Selanjutnya aku memilih diam untuk menenangkan diri daripada berbicara sana-sini. Kunikmati cokelat itu sembari menunggu balasan dari Oot. Ajai pamit ke depan untuk menunggu sekaligus menyambut teman-teman yang sebentar lagi datang. Aku tidak tahu dia tersingung atau sengaja memberiku waktu untuk sendiri. Yang pasti, saat ini aku hanya butuh ketenangan.

Aku merasa serba salah, mau menelepon Oot takut waktunya tidak tepat, tetapi berdiam diri juga tidak memberiku kepastian. Kucecap lagi cokelat hangat itu dan kuhempaskan segala risau yang membebaniku. Kuserahkan semua kepada Tuhan karena aku percaya Dialah sebaik-baiknya pencipta, sekalipun hanya sandiwara. Kuhirup napas panjang dan membiarkannya merasuki setiap inci tubuhku. Batinku berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

Suara riuh mulai terdegar dari kejahuan. Aku yakin mereka sudah sampai. Benar saja, tidak lama kemudian Ajai dan teman-teman datang menghampiriku. Sambil berdiri kupersilakan mereka duduk.

“Silakan duduk teman-teman. Pasangannya jangan sampai tertukar. ”

Teman-teman sontak tertawa. Begitulah caraku menghibur diri agar terlihat baik-baik saja.

“Kami masih mending tertukar, La. Lah, kalau kamu pasangannya belum di-launching,” olok Dani, membuat teman-teman semakin terpingkal.

Dalam gelak tawa itulah ponselku tiba-tiba berdering. Kulihat ada pesan masuk dari Oot.

“Teman-teman, mohon perhatiannya sebentar. Oot sebentar lagi datang, Ala minta tolong kerja sama teman-teman, ya?”

“Siap, La!” jawab mereka kompak.

“Aku minta Ajai yang bertanggung jawab pada musik. Mas Dani bersama teman-teman yang lain bertanggung jawab menyambut Nua di pintu masuk dan aku nanti yang akan membawa kue.”

Tanpa banyak bertanya teman-teman langsung menuju posisinya masing-masing. Aku sendiri sudah siap, Ajai juga tinggal menunggu kode. Tidak lama, Mas Dani mengangkat jempol, tanda musik mulai dimainkan. Begitu Nua dan Oot masuk ke dalam restoran, teman-teman langsung menyanyikan lagu Jamrud lengkap dengan memakai topeng bergambar Nua.

Aku melihat rona bahagia di wajah Nua. Malam ini dia menjadi perempuan paling spesial. Ajai mengangguk, memberi tanda bahwa aku harus berjalan menuju teman-teman. Kubawa kue tart dengan hati yang terlarang. Di antara sesaknya harapan dan kenyataan bahwa dia milik orang. Celakanya, aku berpura-pura menjadi wonder women berhati baja.

“Tiup lilinnya, tiup lilinnya.” Teman-teman tampak riang sekali bernyanyi sambil jingkrak-jingkrak.

Make a wish dulu dong, Sayang.” Oot mengingatkan dengan lembut.

Nua pun terdiam dan memohon dalam hati. Beberapa detik sebelum Nua meniup lilin, aku pun berdoa, semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuk apa yang aku alami saat ini. Seandainya ini ulang tahun Oot, mungkin aku akan lebih sedih. Namun, mengharapkan posisi Nua sekarang adalah sesuatu yang tidak mungkin. Anggap saja semua yang aku lakukan ini sebagai balas budiku untuk Oot.

“Hore!” Sorakan gembira teman-teman memecah keheningan, membawaku kembali pada realita.

Tibalah adegan yang paling kubenci, tatkala Nua memotong kue dan memberikannya pada Oot. Tidak. Tidak hanya memberikan, Nua menyuapkan sepotong roti ke mulut Oot. Ah! Belum selesai. Mereka berdua saling berpelukan dengan mesra. Oot mengucapkan selamat dan Nua menjawabnya manja. Oh tidak! Di depanku? Duh, apa-apaan sih ini? Teman-teman besorak keras lagi. Apa yang harus kulakukan? Aku hanya bisa mengukir senyum kecil dan berpikir ini hanyalah adegan film India.

“Selamat ulang tahun ya, Nua,” ucapku, berusaha menyembunyikan getar pada suaraku.

“Terima kasih, La,” jawabnya.

“Sudah, sudah, mengucapkannya nanti saja. Sekarang waktunya kita makan. Sudah pada lapar, ‘kan?” sela Oot.

Sebelum ke meja makan, “Sudah, biar aku saja yang bawa kuenya, La.” Ajai menawarkan diri, “tanganmu pasti pegal, ‘kan membawa kue dari tadi?”

“Iya sih, Jai,” jawabku.

Andai kamu tahu Jai, tangan pegal bisa dipijat, tetapi kalau hati, apa iya ke sangkal putung?

“Ya, sudah. Sini.”

“Terima kasih ya, Jai.”

Makanan telah siap, teman-teman duduk dengan pasangannya masing-masing. Aku? Kalian pasti tahulah aku duduk bersebelahan dengan siapa. Sudahlah, tidak penting. Sekarang waktunya makan. Sangat disayangkan bila lezatnya makanan ini dicampuri bumbu-bumbu cemburu. Apalagi kepiting telur asin yang rasanya tidak terbayangkan. Sungguh, aku tidak akan rela kalau rasanya berubah hanya karena suasana hatiku.

“Gimana makanannya teman-teman?” tanyaku dengan nada tinggi.

“Enak, La. Enak!” jawab mereka kompak.

“Ya, enaklah! Gratis!” balasku sembari tertawa, mencoba larut dalam keramaian.

Meja makan ini hanya menyisakan piring dan gelas-gelas kosong. Menyaksikan beberapa cerita lucu dan haru. Mendengarkan tawa dan romantikanya makan malam bersama. Entah mengapa, saat ini, aku merasa terjebak dalam kehampaan.

Setelah selesai mengucapkan selamat pada Nua, kami pun pamit pulang. Satu atap tidak juga menyatukan tujuan kembali. Sekarang tinggalah aku dan Ajai.

“Sudah, La. Acaranya sudah selesai.”

“Maksudnya?”

“Iya, kamu mau tidur di sini?”

“Enggaklah, Jai. Ayo pulang!”

Pulang, satu kata yang seharusnya dapat memberikan pelukan hangat. Namun, yang kurasakan hanya kesepian yang tidak pernah gagal menghadirkan perasaan hampa dan kehilangan semangat. Padahal, urusan perasaan hanya sesederhana menyantap makanan. Tinggal ambil yang kamu suka dan singkirkan yang tidak mau kamu makan. Entah itu potongan cabe, daun salam, irisan jahe, apa pun itu yang menurutmu tidak enak. Namun, sesederhana apa pun perasaan, hanya pemiliknya yang mengerti. Setinggi apa dia menyifati, sebesar itu pulalah harapannya.(*)