Gambar pixabay.com

Orang ketiga terlalu sok tahu tentang aku, seakan-akan dia mewakili Tuhan yang lebih maha mengetahui. Aku tidak rela perasaan ini diceritakan orang itu. Orang lain hanya berasumsi dan belum tentu benar adanya. Hati mana yang ikhlas untuk diterjemahkan, bahkan ahli tafsir sekalipun. Ini hatiku, ini kehidupanku, dan inilah aku, Dia Kala Arum yang orang itu panggil La.

Sekarang aku di Bandung, tetapi itu nanti sajalah, biar orang itu yang meneruskan. Aku hanya mengambil bagian yang menjadi hakku, Cilacap! Sebagai gadis perantauan yang tidak kenal siapa pun, apa yang harus aku lakukan bila tidak menjalankan putaran karma? Berharap Tuhan sudi mengirimkan pertolongan dalam kesepian ini karena patah hati yang membuatku lari dari kenyataan dan melupakan masa lalu.

Setiap pagi, embun, aspal, desir sungai, dan lalu-lalang pengendara menjadi teman perjalananku dari Banyumas menuju Cilacap. Ya, bisa dibilang hidupku ini banyak kuhabiskan di perjalanan, Banyumas ke Cilacap, dari Cilacap ke rumah sakit satu, lalu pindah ke yang lain. Setelah itu kembali lagi ke Banyumas dan balik lagi. Entah sudah berapa ribu kilometer jarak tempuh yang telah kujelajahi. Hingga suatu ketika ada seorang lelaki menghampiriku, tepatnya di ruang tunggu rumah sakit umum. Lelaki itu dengan percaya diri menyapaku.

“Baru, ya, Mbak?”

“Iya, Mas.”

“Kenalkan, aku Oot.”

“Iya, aku Ala.”

Kami pun saling berbasa-basi, berbicara ke sana kemari untuk mengenal satu sama lain. Dia menceritakan Kota Cilacap dari episode satu sampai tamat. Aku hanya menjadi pendengar setia yang cuma bisa manggut-manggut sambil sesekali tersenyum. Bagaimana tidak? Membaca peta buta saja aku tidak bisa, apalagi memetakan suatu kata-kata. Sudah barang tentu aku tidak akan mampu.

“Oh, ya, sampai lupa. Ala kos di mana?”

“Aku tinggal di rumah Tante, Mas. Di Banyumas.”

“Kenapa tidak kos saja?”

“Niatnya sih gitu, tapi kan aku tidak tahu harus ke mana, Mas.”

“Oh, … ya, sudah besok kita cari bareng ya?”

“Beneran, Mas? Enggak enak aku kalau nanti malah mengganggu kerjaanmu.”

“Iya, enggak apa-apa, Ala.”

Aku terkesima dengan Oot, lelaki pertama yang kukenal di Cilacap. Lelaki yang telah mengulurkan tangannya untuk membantuku. Jujur, aku mulai tertarik kepadanya. Jangan tanya kenapa karena belum kutemukan alasannya. Aku hanya merasa sesuatu telah tumbuh di hatiku.

Oot memilih SPBU sebagai tempat kami bertemu sebelum sama-sama ke tempat indekos. Sungguh lelaki pengertian. Lelaki seperti dia yang mampu membuat aku seperti cokelat kepanasan.

Hari ini berlalu dengan semerbak bunga melati. Sepanjang perjalanan pulang, aku tak mampu menahan senyum, bahkan tak henti bernyanyi dan tertawa. Aku tidak sabar, berharap hari cepat berganti. Perasaanku meluap bahagia, seperti anak SD yang dibelikan sepatu baru dan ingin segera masuk sekolah lagi. Aku membayangkan, bagaimana besok kami menyusuri jalanan Kota Cilacap. Ah, pastinya seru dan membuat wajahku menghangat tiba-tiba saat memikirkannya.

Pagi ini aku bangun lebih cepat dari biasanya, sibuk mempersiapkan diri untuk bertemu Oot. Semangatku begitu mengebu. Entah mengapa, aku ingin melakukan yang terbaik hanya untuk terlihat menarik di hadapan Oot.

Sepanjang hari ini aku tidak lagi fokus dengan pekerjaanku, berharap segera bertemu Oot. Aku yang biasa didekati lelaki, untuk pertama kalinya melakukan hal gila yang melenceng jauh dari karakterku. Perasaaan ingin mengenal Oot lebih dekat membuat aku merasa bukan diriku lagi.

Sejujurnya, aku belum pernah dihinggapi rasa penasaran seperti ini. Mantan yang aku tinggalkan di Kota Semarang pun, ia dulu yang mendekatiku, meghunjamiku dengan segala bentuk perhatian yang membuat aku yakin betapa besar rasa sayangnya kepadaku sehingga membuat aku tak kuasa untuk menolak membalas rasa sayangnya. Namun, kali ini sungguh berbeda. Sumpah!

Pukul 13.00 aku sudah menanti di SPBU yang telah ditentukan. Sebagai orang yang butuh pertolongannya, aku harus tahu diri untuk datang lebih awal. Bukan itu saja, aku juga masih punya waktu untuk memperbaiki riasan dan memperbaiki penampilanku agar terlihat rapi. Setelah yakin dengan diriku, kukirim chat padanya, Aku sudah sampai, ya, Ot. Untuk berjaga-jaga agar dia tahu aku sudah ada di tempat dan dia bisa segera datang. Tidak lama dia pun membalas, Oke, sebentar ya, La. Aku pun memutuskan duduk di atas motor sambil lihat-lihat medsos.

Tak berapa lama, tiba-tiba ada yang menepuk punggungku dari belakang, mengejutkanku.

“La, maaf ya membuatmu menunggu.”

“Enggak apa-apa kok, Mas.”

“Iya tadi mampir dulu jemput pacarku. Oh iya, ini kenalin, Nua pacarku.

Bahasa apa yang mampu kuwakilkan? Andai penghuni kebun binatang bisa kusebut, tidak akan mampu menggambarkan kekecewaanku. Hatiku yang tadinya mekar mendadak layu seketika. Perjalanan yang kukira akan menyenangkan menjadi menyedihkan. Aku terlalu gegabah meletakkan hati pada seseorang yang belum benar-benar kukenal. Sudahlah, kembali pada tujuan mencari tempat indekos. Kutahan sedihku hingga urusan ini selesai.

Kami pun menyusuri jalanan Kota Cilacap. Dia bersama pasangannya dan aku yang sedirian, sampai akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Oot menyuruhku melihat-lihat dulu sebelum memutuskan untuk tinggal.

“Gimana, La? Cocok.”

“Iya.”

“Beneran?”

“Iya, Ot. Terima kasih sudah mau direpotin.”

“Enak aja bilang terima kasih. Makan-makan dulu sebagai tanda resmi penghuni indekos.”

“Iya, nanti kalau sudah tinggal di sini.”

“Bercanda, La.”

Setelah semuanya selesai, aku kembali ke Banyumas bersama rasa kecewa yang tak kunjung hilang. Perasaan hambar dan hampa kembali menyergapku. Aku yang sedang tidak baik-baik saja mencoba berhenti di pinggir Sungai Serayu.

Sore itu kubiarkan berlalu dalam diam, memandang cahaya lampu yang memantul di atas air sungai. Membayangkan hal-hal indah yang kuharap mampu membuatku tersenyum kembali.

Kejadian menyebalkan hari ini kutinggalkan di atas jembatan kereta api. Berharap akan terseret jauh hingga aku tidak mampu mengingatnya lagi. Aku harus siap dengan segala sakit yang akan kuterima, saat kuputuskan untuk tinggal di tempat indekos yang sama dengan Oot. Aku tidak yakin mampu menahan perasaanku terhadap Oot.

Sungai Serayu, semoga engkau tidak bosan menjadi tempatku mengadu.